BANGKALAN, TIMESindo.com – Gelombang protes datang dari KOPRI PMII Bangkalan menyusul pemerkosaan brutal terhadap dua gadis di bawah umur di Desa Kelbung, Sepulu. Delapan pelaku berkeliaran tanpa penindakan hukum tegas.
Ketua KOPRI PMII Bangkalan, Mufidatul Ulum, menilai kepolisian lamban dan kurang tanggap. Ia menegaskan, keadilan bagi korban kekerasan seksual tidak bisa ditawar, apalagi dibiarkan terabaikan.
“Ketika pelaku masih bebas, itu bukan sekadar kelalaian. Ini menunjukkan rapuhnya komitmen hukum kita terhadap perlindungan anak,” ucap Fida, sapaan akrabnya, Jumat 3 Oktober 2025.
Menurutnya, kasus ini tak boleh berhenti pada formalitas penyelidikan. Desakan agar aparat bertindak tegas terus menguat, karena publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum.
“Bukan hanya korban yang terluka, masyarakat pun merasa dihina. Penegakan hukum tidak boleh tunduk pada ketakutan atau ketidaktegasan,” tegas dia.
Aksi keji ini berawal pada malam 10 Juli 2025, ketika SF, gadis belia, diajak RD membeli makan ke pasar Sepulu. Namun, itu hanya jebakan – karena makanan tak ditemukan, SF justru dibawa ke semak-semak.
Di lokasi tersebut, dua pria lain AD dan SU telah menunggu. Ketiganya diduga memperkosa SF secara bergiliran. Gadis itu tak kunjung pulang, memicu kepanikan keluarganya.
AF, sepupu SF, mencoba mencari jejak. Ia bertanya pada RK, teman pelaku, lalu diajak ikut mencari ke pasar. Tapi bukannya membantu, RK justru menyeret AF ke lokasi lain untuk diserang.
AF diperkosa oleh lima pria: RK dan empat rekannya JN, JY, HD, dan BH. Aksi bejat itu berlangsung tak jauh dari rumah pelaku, memperlihatkan betapa mudahnya hukum dipermainkan di tengah masyarakat.
KOPRI PMII menuntut penerapan hukum maksimal sesuai UU Perlindungan Anak dan KUHP terbaru. Mereka menilai, jika polisi gagal menuntaskan kasus ini, maka aparat telah mengkhianati amanah rakyat.
“Keadilan bagi korban kekerasan seksual anak adalah harga mati. Kami berjanji akan terus mengawal agar kasus ini tak berhenti di meja penyidikan,” pungkas Fida. ***